Kamis, 19 Maret 2009




Pada kesempatan berkabar terakhir dengan bundanya, sebelum perempuan tua ini berangkat menyusul ke kota, Malin Kundang mengingatkan dengan setengah bercanda, “Emak, apabila tekad Emak sudah bulat hendak menyusulku ke kota, siapakah yang nanti akan menyapa unggas di halaman, menghalau domba di pekarangan?” Emak pun hanya menukas kecil, “Malin, kerinduanku terhadap buah hati lebih dari semua itu. Aku ingin menjumpai orang yang telah aku timang-timang.” Emak tua telah bersikeras hendak pergi.

Kendati unggas nanti akan dengan sendirinya melupakan wajah tua itu, dan domba-domba berlarian hanya menjejak rumput hijau untuk dimakan, angin sepoi-sepoi berbisik. Seperti apakah pemandangan di kota? Apakah diriku akan hilang di tengah padang luas mereka, tersedot oleh gorong-gorong air sebesar pintu lumbung padi itu? Emak menatap ke empat penjuru mata angin dan sekilas dia melihat di satu sudut ufuk langit gemintang berkelip lebih terang. Ia tidak mengerti penampakan seperti itu: yang dipandanginya sebuah gugus melingkar seperti pusaran air. Dari luar seperti terseret ke arah dalam, membentuk lingkaran lagi yang lebih kecil.

Tanggal yang digurat-gurat di ujung antan sudah genap. Emak sudah pula menukar hasil dari kebun belakang dengan segenggam uang logam. Ia mendengar bahwa di kota mereka “makan dengan uang”, bukan “makan nasi.” Kupu-kupu dan lebah seperti melepas Emak pergi, sekalipun keduanya tetap sibuk menghisap madu bunga. Tidak ada yang perlu diusik dengan ritual flora dan fauna di halaman. Mereka mengerjakan itu semua seperti otomatis, dikendalikan oleh pikiran sehat dari Pembuatnya.

Seperti ditorehkan oleh para penulis legenda, seperti telah diterima tanpa pertanyaan oleh telinga bocah-bocah: Malin Kundang memperlakukan Emaknya dengan nista. Simpul tersebut secara singkat tanpa penjelasan apapun oleh para ninik-mamak yang melantangkan legenda ditandai dengan cap durhaka. Malin Kundang berlaku durhaka kepada Emaknya, dan kita semua sampai bermasa-masa selanjutnya masih berdiri tegak di belakang Emak.

Namun, apakah sebab dari kedurhakaan itu? Apakah karena Malin Kundang beroleh pangkat, bertimbun harta, berpijak pada kebanggaan sebagai orang yang terangkat martabatnya? Bagaimana seandainya dia ingin membuang sejarah? Siapa tahu pada dirinya terdapat perasaan malu atau rendah diri bahwa selama ini lingkungannya yang hanya seluas batok kelapa itu telah dianggap mengerdilkannya. Dan Emak adalah perlambang dunia lama itu yang kemudian muncul dan mengusik pada masa kekiniannya. Anak durhaka itu — demikian orang menyebut — tidak kuasa menampik Emak secara kenyataan substansial, namun pada perlawanannya menguasai perasaan rendah diri itu Malin Kundang harus mengusirnya. Barangkali ia sadar bahwa tinta sejarah akan menulisnya sebagai lancung, namun pikiran pendek dan kegeraman terhadap perulangan kondisi buruk yang disangkanya akan muncul, menguasai pertimbangan seperti itu. “Akulah Malin Kundang. Aku tidak terusik sedikitpun dengan caraku bertingkah laku seperti ini.”

Legenda memberikan izin yang sedemikian lapang kepada Emak untuk melakukan apapun. Pertama, memang surga di telapak kaki Emak; anak-anak diajari harus takzim kepada bunda yang rahimnya dijadikan persinggahan sebelum mereka memulai menanam ladang untuk diketam di akhirat kelak. Selain itu episode Emak dinistakan ini memang demikian hitam-putih: orang tua itu tidak bersalah apa-apa, dan Malin Kundang bergelimang kemewahan. Bagi sebagian pemapar kebijaksanaan, kemewahan adalah tanda awal penyelewengan.

Apakah tidak sepatutnya anak durhaka ini dikasihani? Karena ia terang-terangan melakukan perbuatan keji yang nantinya akan membawa dirinya pada kesulitan-kesulitan lain yang lebih jauh. Sebelum terlambat. Sebelum lebih akut. Dan siapa orang di muka bumi ini yang lebih mengerti seorang anak selain bundanya sendiri? Pikiran-pikiran seperti itu yang pertama muncul di dalam benak Emak. Ia memang gusar melihat perubahan perilaku anaknya. Ia kecewa. Ia marah karena seperti tidak dianggap.

Namun seperti bercermin terhadap dirinya, Emak menangkap bayang-bayang kesadaran. “Aku harus setimbang, karena ini bukan semata-mata miring ke arah kanan atau beralih ke kiri.” Ia berbicara dengan hatinya sendiri, yang seperti bertanya jawab satu dan banyak hal. “Emak, akulah Atijembar. Engkau lihat cahayaku berkelebat membentuk pusaran pada saat engkau hendak meninggalkan rumahmu. Akulah makhluk yang paling dekat denganmu, karena engkau dapat mendengarkan aku bahkan seandainyapun telingamu tuli dan engkau dapat berbicara denganku sekalipun mulutmu bungkam. Aku hanya tidak dapat dijangkau oleh mereka yang telah pekak dan bisu.” Tanpa dijelaskan maksud kehadirannya pun, Emak sudah mafhum.

“Aku sudah mengingatkannya, sudah mengajaknya untuk bertobat, apakah dengan demikian kutukanku menjadi keniscayaan? Akulah yang dengan izin-Nya telah melahirkan dirinya ke dunia, pantaskah apabila sekarang aku pula yang mengantarkan dirinya kepada kebinasaan? Bukankah seharusnya aku yang mencintai darah keturunanku lebih dari yang lainnya? Sebenarnya siapa aku ini yang sekarang sedemikian gusar sehingga berencana mengeluarkan kutukan? Apakah kebaikan yang menyertai, pembalasan terhadap kenistaan, atau hanya nafsu amarah yang menyala-nyala?”

Atijembar hanya bergumam lirih, “Emak, gunung pun akan meledak mendengar kutukan bunda. Awan menjadi pekat, langit mendung dan murung. Kehidupan terhenti oleh kutukan bunda — orang yang mengantar awal kehidupan. Apakah demikian yang menjadi dorongan hatimu?” Keluh kesah Emak, pertanyaan Atijembar, kesadaran dan kebimbangan, keraguan dan perasaan ingin berontak, semua berputar dari sebuah dorongan yang memang sebenarnya satu sumbernya. Alam semesta ini sedemikian luas tiada terkira, namun hati manusia yang membuka terhadap cahaya jauh lebih lapang lagi. Demikian pula, butir-butir pergulatan batin jauh lebih halus dari pikiran-pikiran manusia tentang ukuran superkecil. Seolah-olah alam semesta ini hendak bergerak atau diam, hati manusialah yang menjadi pusaran. Karena demikianlah kekuasaan Tuhan menitipkan sejumput cahaya-Nya bersemai di dalam hati.

Kisah kutukan Emak terhadap Malin Kundang itu yang menandai peristiwa sejarah berikutnya. Legenda-legenda yang disebut cerita rakyat atau hikayat dari masa lalu penuh dengan kejadian kutuk-mengutuk, amarah dan sumpah, serta keculasan yang dilakukan lakon-lakonnya. Sekalipun berdalih keselamatan dan kebahagiaan, kenapa yang ditularkan adalah kebohongan dan sikap satu berkuasa terhadap lainnya? Cerita Timun Emas dilakonkan oleh tokoh ibu yang mau menang sendiri beroleh keturunan dan kemudian mengenyahkan raksasa yang membantunya. Bawang Putih dan Bawang Merah dipenuhi oleh sikap tidak terpuji yang ditonjolkan oleh ibu tiri. Demikian juga legenda patung dan candi yang berakhir dengan diplomasi membokong dari belakang. Lakon-lakon tersebut digambarkan menang dengan cara yang penuh amarah atau tipu daya. Bukan karena kemampuan berunding dan nilai tawar yang sejajar.

“Inilah aku yang mencoba menguasai alam kesadaranku”, jerit Emak di dalam batin. Bukan seperti sekali membalik telapak tangan atau semudah merunut bacaan tentang kebaikan di dalam kesabaran. Karena Emak yang mengalami dan Malin Kundang adalah buah hatinya sendiri. Segumpal kesayangan yang telah ditimang dan dibesarkan di dada dan di pangkuan dirinya sendiri. Ia seperti bercermin dan melihat muka sendiri. “Jikalau aku mengutuknya karena kesalahan yang diperbuat saat ini, sedikit atau banyak, aku memiliki andil dalam menanam bibit kesalahan itu,” demikian bayangan di cermin itu senantiasa berpulang pada dirinya.

Perlawanan terhadap keakuan dirinya itulah yang paling berat dirasakan oleh Emak. Perlakuan buruk Malin Kundang seperti tidak berarti dibanding jeritan batinnya menyeimbangkan perasaan tegar terhadap keadaan pahit dan rasa cinta kepada anak kesayangannya. “Seandainya engkau orang lain, aku akan mengabaikan kejahatanmu. Sekiranya aku sudah berlepas dari keadaan cinta ini, maka petir berkilat-kilat menyambar dirimu dan aku pergi,” dengan susah payah perempuan tua itu meneguhkan sikapnya dan setengah berdoa. Sikap tenang yang diambil Emak sebenarnya penuh diisi pergulatan batin dan terkadang ia merasa bahwa mengurus kambing di kampung pun jauh lebih ringan dibanding mengendalikan pikiran. “Aku tidak mau hancur oleh rasa cintaku yang berlebih, seperti aku juga tidak berniat menghancurkan cinta itu sendiri”, itu pula yang ingin dijadikan tekadnya.

Dinding cinta itu pun masih sesekali diusik oleh pertanyaan lain yang setengah menggoda, “Benarkah engkau bersungguh-sungguh dengan tekadmu ini? Apakah bukan karena perolehan lain yang ingin engkau dapatkan kelak?” Emak adalah seorang bunda yang juga manusia biasa seperti lainnya. Ia bisa menjadi sedemikian optimis dengan keteguhan kasih sayangnya, namun dapat menjadi murung dengan kepayahan yang dialami. Ia berdiri tegar mengingat terpaan angin dan hujan tatkala membesarkan Malinkundang; namun ia juga seperti lumpuh menghadapi kepahitan yang menggantikan kenangannya pada padang rumput hijau. Seperti sedikit disesali anaknya dilepas pergi mengikuti saudagar itu beberapa tahun silam, namun ia mengembalikan lagi kepada keadaan bahwa penyesalan seperti itu hanya sebuah kerikil yang digilas roda raksasa waktu. Kadang Emak juga ingin menghilangkan jati dirinya sebagai bunda, agar semua perasaan manis atau pahit dapat lalu lalang melewati dirinya tanpa menimbulkan pengaruh apapun.

Pada suatu malam Emak berbisik kepada Atijembar, “Aku melucuti predikat bunda dari diriku, karena memang fungsi itu lumpuh saat ini dan aku lebih baik bebas menjadi manusia yang merdeka. Aku ingin menyaksikan hujan turun membasahi bumi bukan karena beranggapan hatiku yang lapang sudah berhasil menerima keadaan buruk. Aku juga ingin mendengar petir menggelegar tidak karena dikaitkan dengan kemarahanku yang membubung ke langit. Segala sesuatu seharusnya datang dari Yang Memberi Rahmat dan Yang Menurunkan Azab. Kita tidak sepantasnya menyanjung manusia lain dan tidak pada tempatnya menyakiti sesama. Biarlah malaikat-malaikat yang tanpa keinginan dan nafsu itu mengerjakan tugas mereka dengan paripurna.”

Batu mengeluarkan pancuran air yang konon adalah Malin Kundang menangisi penyesalannya terkena kutukan bunda, setelah lama berselang mulai dilupakan orang. Anak-anak yang mendengar hikayat itu setelah besar belajar ilmu alam dan semakin dapat memisahkan bagian yang disebut legenda dan realita. Para pengunjung tempat itu pun sesekali membicarakan perihal batu tersebut dibumbui legenda Malinkundang, namun sangat sedikit yang meletakkan hal itu sebagai keniscayaan peristiwa kasih sayang dan kedurhakaan.

Barangkali juga Malin Kundang tidak sehitam yang digambarkan para penutur yang ingin anak-anak pendengarnya beroleh pesan penghormatan kepada bundanya. Demikian juga pergulatan batin Emak di depan anaknya yang durhaka tentulah berisi kemuliaan seorang bunda dibanding sumpah kutukan perempuan yang menganggap dirinya berkuasa.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda